Wednesday, September 23, 2015

3 Profesor FEUI (Dosennya Sri Mulyani), Nilai Kebijakan Jokowi Nggak Jelas!

Menko Perekonomian, Prof.Dr.Darmin Nasution, Nilai Jokowi Tak Punya Kapasitas seorang Presiden
Jumat, 18/9/2015 02.08


Prof. Dr. Darmin Nasuiton, Guru besar FEUI.

POSMETRO INFO - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang menilai paket ekonomi yang ditawarkan Presiden Jokowi tak jelas. Ini juga menandakan Darmin Nasution menilai Jokowi tak punya kapasitas seorang Presiden.

“Darmin orang profesional, dan berkata jujur akan paket yang ditawarkan Jokowi mengatasi masalah ekonomi tak jelas. Ini juga bisa dilihat Darmin menilai Jokowi tak punya kapasitas Presiden,” kata pengamat politik, Ahmad Baidhowi kepada intelijen, Sabtu (19/9).




Menurut Baidhowi, Darmin Nasution itu bicara berdasarkan data dan fakta. “Darmin sudah berpengalaman dalam bidang ekonomi, Jokowi nampaknya tidak berbicara dengan Darmin terkait paket tersebut,” ungkap Baidhowi.

Baidhowi menduga, setelah pernyatan Darmin ini, ada upaya untuk melengserkan mantan Gubernur Bank Indonesia. “Nantinya ada yang menghembuskan Darmin itu neolib, perlu direshuffle, padahal Darmin punya kapasitas dalam bidang perekonomian,” pungkas Baidhowi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, paket kebijakan yang diumumkan pemerintah belum cukup jelas.

Pelaku usaha khususnya masih menunggu rincian deregulasi dan debirokratisasi dari Kementerian/Lembaga yang berkepentingan.

“Saya akui pengumuman kita mengenai paket kebijakan di sana-sini enggak cukup jelas,” kata Darmin di Jakarta, Jumat (18/9/2015).
http://www.posmetro.info/2015/09/men...okowi-tak.html


Anwar Nasution Lontarkan Kritik Pedas kepada Jokowi
Jumat, 21 Agustus 2015


Mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Prof.Dr.Anwar Nasution. Beliau juga Guru Besar FEUI.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution, melontarkan kritik pedas kepada Presiden Joko Widodo, yang menyebut kabinetnya tidak kompeten dalam menghadapi persoalan ekonomi negara dan melanjutkan kebijakan keliru yang dibuat oleh presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono.

Kritik sangat pedas yang ia lontarkan melalui harian The Jakarta Post pada 20 Agustus 2015, tergolong mengejutkan karena Anwar Nasution, guru besar Ilmu Ekonomi pada Universitas Indonesia itu dikenal sebagai pendukung Jokowi pada Pilpres tahun lalu. Ia bahkan dengan terang-terangan menyebut langkah Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mencalonkan Jokowi-JK sebagai langkah brilian.

"Selamat kepada Ibu Mega. Karena beliau membuat keputusan brilian untuk mencalonkan mereka berdua (Jokowi-JK)," katanya, kala itu, yang menyejajarkan keputusan itu dengan langkah Sonia Gandhi, pemimpin Bharatiya Janata Party (BJP) India yang menunjuk Dr Manmohan Singh menjadi Perdana Menteri India pada 2004.

Dalam tulisan yang kemudian dilansir oleh berbagai media internasional itu, Anwar Nasution antara lain menulis, bahwa, "Ekonomi memburuk karena pemerintah tidak kompeten merespon tiga guncangan eksternal negatif saat ini."

Oleh karena ketidakkompetenan itu, ia mengkhawatirkan Indonesia akan terperangkap di level ekonomi menengah bawah bila tingkat pertumbuhan terus menurun pada tingkat seperti dewasa ini.

Menurut dia, ada tiga guncangan yang belum berhasil diatasi oleh pemerintah.

Pertama, booming komoditas primer yang sudah usai, yang menyebabkan permintaan dan harga komoditas ekspor turun.

Kedua, kemungkinan kenaikan suku bunga di AS yang bisa membalikkan arus masuk modal jangka pendek. Karena investor portofolio asing menyerap sebagian besar obligasi pemerintah dan sertifikat SBI Bank Indonesia, pengetatan moneter AS akan menaikkan biaya bunga dari pinjaman luar negeri.

Menurut dia, ketidakstabilan mata uang internasional akan mempengaruhi perdagangan dan arus modal.

Guncangan ketiga adalah kekeringan panjang yang secara serius menurunkan produksi pertanian. Akibatnya, Indonesia perlu mengimpor pangan tahun ini dan tahun berikutnya.

"Jokowi belum dengan benar menanggapi kesulitan-kesulitan ekonomi dan terus mengadopsi kebijakan yang menyimpang yang diwarisi dari pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kebijakan-kebijakan terdistorsi itu mencakup struktur kebijakan pengeluaran pemerintah, perdagangan dan investasi. Jokowi telah sering keluar negeri untuk merayu investor asing. Tapi dia belum membuat keputusan tentang bagaimana untuk merestrukturisasi sektor perekonomian riil termasuk tentang cara meningkatkan sistem perizinan, tingkat investasi dan iklim usaha," tulis dia.

Lebih jauh, Anwar Nasution juga mengeritik komposisi kabinet Jokowi, yang menurutnya terdiri dari politisi dan akademisi kelas dua. Integritas dan kemampuan intelektual mereka, menurut dia, sangat rendah, hanya beberapa saja yang dapat dikecualikan.

"Kebanyakan dari mereka tidak terlatih dalam bidang ekonomi, mereka mendapat gelar doktor kehormatan atau bahkan gelar profesor di bidang ekonomi dari universitas yang dipertanyakan," kata dia.

"Mereka belajar ekonomi sebagai pengusaha di pasar yang sangat dilindungi, atau pemasok untuk sektor publik atau dealer mobil buatan luar negeri dan produk impor lainnya. Tak satu pun dari mereka telah melakukan penetrasi pasar internasional melalui ekspor," tulisnya lagi.

Reshuffle kabinet yang diumumkan pada 12 Agustus lalu, menurut dia, juga tidak banyak membantu, bahkan gagal meningkatkan kepercayaan publik dalam pemerintahan. "Seperti di kabinet sebelumnya, presiden Jokowi gagal mencalonkan ahli makro ekonomi yang baik di pemerintahan maupun di bank sentral," tutur dia.

Akibatnya, lanjut dia, banyak kebijakan yang tidak kredibel. Ia mencontohkan langkah BI baru-baru ini yang mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan rupiah untuk transaksi domestik. "Peraturan ini adalah jenis kontrol modal lunak untuk mengurangi permintaan valuta asing," kata dia.

Kebijakan ini, lanjut dia, tidak akan bekerja karena, secara tradisional, orang Indonesia tidak percaya pada rupiah sebagai penyimpan nilai. Hal ini terjadi karena sejarah panjang instabilitas sosial dan ekonomi, maupun sistem hukum yang buruk yang tidak mampu melindungi hak kekayaan individu. Juga faktor-faktor lain seperti inflasi maupun pengalaman di masa krisis, termasuk sejarah kelam pengusiran orang-orang Belanda dan Tionghoa dari Indonesia.

"Kurangnya kepercayaan dalam rupiah juga diakibatkan kurangnya integritas dan kemampuan teknis dalam kepemimpinan bank sentral," kata dia.

Karena alasan ini, Anwar Nasution mengatakan, orang-orang kaya memarkir uang mereka dalam lingkungan yang secara sosial dan ekonomi stabil, yang memiliki sistem hukum yang sangat baik, seperti Singapura, yang terletak tepat di tengah-tengah kepulauan Indonesia.

Dalam tulisannya tersebut, Anwar Nasution juga mengingatkan tentang bahaya melonjaknya utang luar negeri yang pada gilirannya dapat mengancam kesehatan perbankan.
http://www.satuharapan.com/read-deta...-kepada-jokowi


Iwan Jaya Azis Cemas Lonjakan Utang Swasta Mirip Krisis 98
19:16 WIB | Rabu, 16 September 2015


Prof. Dr.Iwan Jaya Azis, Guru Besar di FEUI & Cornell University,AS 

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah Anwar Nasution, satu lagi guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang kredibilitasnya terpandang dan reputasinya diakui mengungkapkan kritik dan kekhawatira terhadap perekonomian Indonesia. Iwan Jaya Azis, profesor yang selama 15 tahun mengajar di Amerika Serikat dan tahun lalu kembali ke Indonesia, mengatakan ia cemas dan kecewa melihat keadaan Indonesia saat ini.

"Ini cerita yang sama -- saya tidak melihat perubahan apapun. Itu sebabnya saya tidak punya alasan untuk optimis," kata Iwan Jaya Azis, yang saat ini mengajar di Universitas Indonesia dan dulu merupakan dosen dari Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo.

"Sekarang ini keadaan lebih buruk. Dunia sekakan tidak saling berhubungan," kata dia dalam wawancara yang dilansir oleh Bloomberg, hari ini (16/9).

Di antara hal-hal mengganggu Iwan Jaya Azis dari pemerintahan Joko Widodo adalah pendekatan yang semakin proteksionistis terhadap perdagangan dan investasi, kebijakan ala sandal jepit pemerintah, dan penumpukan utang luar negeri swasta yang mengingatkan pada pola sebelum krisis keuangan Asia 1997-1998.

Ia melihat Indonesia sebagai pasar yang besar dengan populasi terbesar keempat di dunia, gagal memasukkan diri dalam rantai pasokan manufaktur global seperti yang dilakukan oleh Vietnam dalam industri elektronik. Vietnam telah memikat miliaran dolar investasi dari Samsung Electronics Co antara lain, yang kemudian memicu ekspor.

Sebaliknya, kata Iwan Jaya Azis, profesor yang kini berusia 62 tahun dan sebelumnya bekerja di Bank Pembangunan Asia dan mengajar di Cornell University di negara bagian New York, ekonomi Indonesia tetap tergantung pada sumber daya alam dan industri perakitan.

Ia juga mengingatkan bahwa sistem keuangan saat ini rentan seiring dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah karena lonjakan utang swasta dalam mata uang asing. Menurut dia, kredit bermasalah akan meningkat. "Saya khawatir tentang bank kecil dan menengah," kata dia.

Menurut dia, "Tidak ada yang benar-benar memperhatikan bahaya" selama periode pertumbuhan yang lebih cepat pada sekitar tahun 2006, ketika harga komoditas menguntungkan ekspor Indonesia.

Kendati demikian, Iwan Jaya Azit tidak dapat memperdiksi kapan krisis akan terjadi. "Saya tidak bisa memprediksi kapan krisis akan datang," kata Azis. "Saya katakan di kelas saya bahwa krisis tidak dapat diprediksi -. Tapi dapat dijelaskan."

Ia mengatakan berencana untuk kembali ke Cornell, dan "satu-satunya harapan saya adalah presiden (Joko Widodo) sendiri," atas komitmennya terhadap reformasi.

Pandangannya yang pesimis dibantah oleh Fauzi Ichsan, Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) merangkap Plt Kepala Eksekutif. Ia mengatakan bahwa Indonesia telah memperkuat sistem perbankan dan tahan terhadap risiko. Standar modal perbankan juga sudah lebih kuat, dan dana asuransi deposito kini jauh lebih besar daripada yang ada selama krisis keuangan global beberapa tahun yang lalu.
http://www.satuharapan.com/read-deta...irip-krisis-98


Faisal Basri: Rupiah Melemah Karena Krisis Kepercayaan
Senin, 22/06/2015 20:09 WIB


Faisal Basri, ekonom Sebior dari FEUI

Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan rupiah tidak selayaknya berada di level lemah pada saat ini. Pasalnya dari beberapa data ekonomi yang terkini, kondisi Indonesia tidak seburuk yang dinilai dan pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh spekulan serta krisis kepercayaan.

Nilai tukar rupiah terus melemah sepanjang tahun ini dan tercatat menyentuh level 13.385 per dolar AS di pasar uang pada 8 Juni 2015. Menteri Keuangan sempat menganggap pelemahan rupiah akibat kondisi penguatan dolar AS atau yang sering disebut dengan ‘super dollar’. Pasalnya, banyak mata uang di negara lain juga mengalami hal serupa.

“Sebenarnya Menteri Keuangan itu sadar enggak sih kalau rupiah sudah sangat lama melemah? Persisnya sejak awal Agustus 2011,” ujar Faisal Basri dalam kunjungannya ke kantor redaksi CNN Indonesia, Senin (22/6).

Ia menuturkan, sejak Desember 2014 cukup banyak faktor yang berpotensi mengurangi tekanan terhadap rupiah. Yang terpenting, lanjutnya, adalah kemerosotan harga minyak. Faisal menilai impor minyak menjadi biang keladi kemerosotan rupiah sejak tahun 2011. Namun selama Januari-Mei 2015 impor minyak turun tajam, sebesar 51 persen.

“Sedemikian tajamnya perurunan impor BBM sehingga tidak lagi menjadi komoditas impor terbesar sebagaimana terjadi selama 2011-2014. Kini impor BBM hanya menduduki urutan ketiga terbesar.
Kemerosotan harga BBM pulalah yang membuat transaksi perdagangan luar negeri kembali surplus setelah selama tiga tahun sebelumnya selalu defisit,” jelas Faisal.

Lebih lanjut, ia meyatakan meskipun ekspor selama Januari-Mei turun sebesar 11,8 persen, transaksi perdagagan tetap surplus karena impor turun lebih tajam, yaitu sebesar 17,9 persen. Penurunan impor sangat tajam dialami oleh migas, yaitu 42,8 persen.

“Penurunan nilai impor juga dialami oleh berbagai komoditi yang tergolong sebagai kebutuhan pokok karena kemerosotan harga, misalnya gandum, kedelai, jagung dan gula,” katanya.

Untuk perdagangan jasa, kata Faisal, juga mengalami perbaikan. Defisit perdagangan jasa yang biasanya per triwulan sekitar US$ 2,5 miliar sampai US$ 3,5 miliar, pada triwulan I-2015 hanya US$ 1,8 miliar.

Karena akun primary income dan secondary income tidak mengalami perubahan berarti, maka defisit akun semasa (current account) pada triwulan I-2015 membaik menjadi hanya 1,8 persen PDB dibandingkan 2,9 persen PDB pada tahun 2014.

“Defisit current account ditutupi oleh surplus lalu lintas modal dalam bentuk penanaman modal asing langsung (FDI) maupun portofolio,” katanya.

Dengan demikian, neraca pembayaran terus mencatatkan surplus, sehingga cadangan devisa juga masih menikmati surplus. Karena itu seharusnya secara teknis, rupiah tidak mengalami pelemahan berkelanjutan.

“Jadi mengapa rupiah terus melemah padahal pasokan dolar AS lebih besar ketimbang permintaannya? Penyebabnya diduga pemilik dolar AS tidak menukarkan dolarnya ke rupiah karena motif berjaga-jaga. Kalau saya sih menilai seharusnya rupiah berada di level 11.000 per dolar AS,” ungkapnya.

Faisal menilai pemilik dolar AS khawatir merugi jika nanti mereka butuh membutuhkan mata uang negeri Paman Sam itu, maka harus membeli dengan kurs yang lebih tinggi lagi. Ia menilai, masyarakat maupun pebisnis tak berhasil diyakinkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

“Ada semacam krisis kepercayaan dan tergerusnya trust terhadap pemerintah dan BI. Hal itu mengakibatkan pasokan dolar AS di pasar valuta asing tidak meningkat. Apalagi mengingat volume transaksi di pasar valuta asing sangat tipis, sekitar US$ 2 miliar saja dalam sehari,” jelasnya.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...s-kepercayaan/

No comments:

Post a Comment